Langsung ke konten utama

makalah sejarah thoriqoh



BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Tarekat merupakan bagian dari ilmu tasawuf. Namun tak semua orang yang mempelajari tasawuf terlebih lagi belum mengenal tasawuf akan faham sepenuhnya tentang tarekat. Banyak orang yang memandang tarekat secara sekilas akan menganggapnya sebagai ajaran yang diadakan di luar Islam (bid’ah), padahal tarekat itu sendiri merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan syari’at Islam yang sah. Namun perlu kehati-hatian  juga karena tidak sedikit tarekat-tarekat yang dikembangkan dan dicampuradukkan dengan ajaran-ajaran yang menyeleweng dari ajaran Islam yang benar. Oleh sebab itu, perlu diketahui bahwa ada pengklasifikasian antara tarekat muktabarah (yang dianggap sah) dan ghairu muktabarah (yang tidak dianggap sah).
            Memang seluk-beluk tarekat tidak bisa dijabarkan dengan mudah karena setiap tarekat-tarekat tersebut memiliki filsafat dan cara pelaksanaan amal ibadah masing-masing. Oleh karena itu, penulis berusaha menjelaskan tentang tarekat dalam makalah ini. Meskipun makalah ini tidak bisa memuat hal-hal yang berkaitan dengan tarekat secara menyeluruh, tapi paling tidak makalah ini cukup mampu untuk memperkenalkan kita pada terekat tersebut.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana pengertian thoriqoh ?
2.    Bagaimana sejarah dan perkembangan thoriqoh ?





BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Thariqah
Secara etimologi kata thoriqah dimaknai dengan kata jalan yang sinonim dengan kata suluk. Sedangkan secara terminologi dimaknai dengan jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa jalan yang tempuh dalam tasawuf melalui bimbingan, dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, dan merupakan cabang dari jalan yang lebih besar, yaitu syariat. Termasuk didalamnya kepatuhan didalam menjalankan syariat dan hukum Islam yang lain.[1] Sedangkan definisi thoriqoh menurut Syeikh Muhammad Amin Al Kurdi, dalam kitab Tanwirul Qulubnya, tarekat adalah beramal dengan syari’at denagn mengambil atau memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhshoh (ringan), menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah, menjauhkan diri dari semua larangan syari’at lahir dan batin, melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya, meninggalkan semua larangan Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia, melaksanakansemua ibadah fardhu dan sunnah yang semua dibawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syeikh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqomnya.
B.  Asal Usul Thoriqoh
Asal usul thoriqoh dapat dirunut pada Abad ke-3 dan 4 H (Abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di Negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afganistan, dan Asia Tengah. Bebrapa sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut.[2]
Pada saat itu, para sufi dalam melihat tingkah laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbutan meraka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin kedalam perbuatan mereka tersendiri. Kebiasaan diatas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan tasawuf, yaitu persaudaraan sufi (sebuah lembaga) yang didasarkan atas cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian disebut thoriqoh Sufi. Kemunculan Thoriqoh Sufi juga sering dirujuk pada hadits yang menyatakan “setiap mu’min itu adalah cermin dari mu’min yang lain”. Oleh karena itu para sufi selalu bercermin pada perbuatan orang lain kemudian dibandingkan dengan perbuatan dirinya yang nantinya mereka bercermin untuk memurnikan qolbunya. [3]
Kemudian saat tiba Abad ke-10 muncullah lembaga lain yang melembaga setelah lembaga sufi yaitu lembaga Zawiyah, Ribath, atau Khonaqoh. Sebagai pusat kegiatannya dengan konsepnya yaitu konsep ijazah, silsilah yang semua ditunjukkan untuk menopang kokohnya sistem persaudaraan sufi yang telah melembaga itu. Bahkan, pada masa-masa berikutnya, seorang murid tidaklah sekedar pengikut syaikh akan tetapi mereka juga harus menerima bai’ah (sumpah setia) kepada sang Syaikh ataupun pendiri thoriqoh sesuai dengan garis lurus silsilah yang diterimanya dari Syaikh, maka dengan begitu seorang murid memperoleh legitimasi dalam pengetahuan thoriqoh dan jalinan silsilah persaudaraan, yang berarti sudah berada dalam satu keluarga besar thoriqoh yang dimasukinya.[4]
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan thoriqoh yaitu, faktor kultural dan struktural. Dari segi politik, dunia Islam sedang mengalami krisis hebat. Dibagian barat dunia Islam, seperti wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa yang terkenal dengan perang salib. Selama lebih kurang 2 Abad (490-656 H. / 1096-1258 M.) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.[5]
Dibagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasaan. Ia melahap setiap wilayah yang dijarahnya. Demiian juga halnya di Baghdad, sebagai pusat dan kekuasaan dan peradaban Islam, situasi politik kota baghdad tidak menentu, karena selalu terjadi perebutan kekuasaan diantara para Amir (turki dan dinasti buwihi). Secara formal kholifah masih diakui, tetapi secara praktis penguasa yang sebenarnya adalah para Amir dan sultan-sultan. Keadaan yang buruk ini disempurnakan (keburukannya) oleh Hulagu Khan yang memporak porandakan pusat peradaban umat Islam (1258.)[6]
Kerunyaman politik dan krisis kekuasaan ini membawa dampak negatif bagi kehidupan umat Islam di wilayah tersebut. Pada masa itu umat Islam mengalami masa disintregasi sosial yang sangat parah, pertentangan antar golongan banyak terjadi, seperti antara golongan sunni dengan syiah, dan golongan Turki dengan golongan Arab dan Persia. Selain itu ditambah lagi oleh suasana banjir yang melanda sungai Dajlah yang mengakibatkan separuh dari tanah Irak menjadi rusak. Akibatnya, kehidupan sosial merosot. Keamanan terganggu dan kehancuran umat Islam terasa dimana-mana.
Dalam situasi seperti itu wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrinnya yang dapat menentramkan jiwa, dan menjalin hubungan yang damai dengan sesama muslim. [7]
Masyarakat Islam memiliki warisan kultural dari ulama sebelumnya yang dapat digunakan sebagai pegangan yaitu doktrin tasawuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidani lahirnya gerakan Thoriqoh pada masa itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian ulama sufi. Mereka memberikan pengayoman masyarakat Islam yang sedang mengalami krisis moral yang sangat hebat. Dengan dibukanyaajaran tasawuf kepada orang awam, secara praktis lebih berfungsi sebagai psikoterapi yang bersifat massal. Maka kemudian kemudian benyak orang awam yang memasuki majlis dzikir dan halaqohnya para sufi, yang lama kelamaan berkembang menjadi menjadi suatu kelompok tersendiri (eksklusif) yang disebut dengan Thoriqoh.
Pada abad ke-12, thoriqoh dalam pengertian paguyuban semakin mapan, maka kemudian thoriqoh menjadi komunitas dari orang-orang yang diikat sejumlah aturan-aturan tertentu (misalnya gaya hidup amalan-amalan keagamaan, bahkan cita-cita) dalam bingkai syariah. Dari sinilah kemudian thoriqoh menjadi sesuatu yang menggejala seantero dunia Islam, lebih-lebih lagi ketika kondisi  sosial politik umat Islam  memberikan ruang yang cukup tumbuhnya kehidupan sufistik, disebabkan jatuhnya Baghdad ketangan Hologu Khan diabad ke 13. Kemudian muncullah beberapa thoriqoh sesuai dengan nama tokoh pendirinya. Maka antara abad ke 12 sampai ke 16 lahirlah empat belas thoriqoh yang merupakan thoriqoh asli. Mereka itu secara kronologis adalah thoriqoh Qodiriyah (W. 1166), Suhrowadiyah (W.1167), Rifaiyah (W. 1175), Chittiyah (W. 1236), Shadziliyah (W. 1256), Maulawiyah (W. 1273), Badawiyah (W. 1276), Dasuqiyah (W. 1277), Sa’idiyah (W. 1335), Naqsabandiyah (W. 1388), Khawatiyah (W. 1397), Sha’baniyah (W. 1569) dan Uwaisiyah.
Thoriqoh-thoriqoh ini kemudian berkembang pesat sehingga di dunia Islam ditemukan berbagai nama thoriqoh, bahkan ada yang sifatnya sangat lokal sekali. Diantara beragam aliran thoriqoh tersebut ada yang tidak lagi berpijak pada landasan pokok Al Qur’an dan hadits, mereka dengan sendirinya sudah menyimpang dan perlu dibimbing kembali ke jalan yang lurus. Dari perkembangan awal thoriqoh yang bersifat pribadi, kemudian menjadi gerakan persaudaraan sufi, selanjutnya menjadi gerakan massal, maka tidak kurang dari 163 thoriqoh disamping ada yang dianggap menyimpang 14 buah aliran yang mana satu persatu darinya memiliki ajaran tersendiri. [8]
Jumlah thoriqoh yang muttasil dan musalsalah (mempunyai rantai silsilah secara berkesinambungan sampai Rosulullah SAW) itu lebih dari dua puluh Thoriqoh. Thoriqoh-thoriqoh ini walaupun berbeda-beda aturan  dan ketentuannya, akan tetapi kembali pada satu pusat, dan berkisar pada satu jalan, yaitu mendekatan diri kehadirat Allah Yang Maha Esa.[9]
C.     Perkembangan Tarekat di Indonesia
Kehadiran tasawuf berikut lembaga-lembaga tarekatnya di Indonesia, sama tuanya dengan kehadiran Islam itu sendiri sebagai agama yang masuk di kawasan ini. Namun, tampaknya, dari sekian banyak tarekat yang ada di seluruh dunia, hanya ada beberapa tarekat yang bisa masuk dan berkembang di Indonesia. Hal itu dimungkinkan di antaranya karena faktor kemudahan sistem komunikasi dalam kegiatan transmisinya. Tarekat yang masuk ke Indonesia adalah tarekat yang populer di Makkah dan Madinah, dua kota yang saat itu menjadi pusat kegiatan dunia Islam. Faktor lain adalah karena tarekat-tarekat itu dibawa langung oleh tokoh-tokoh pengembangnya yang umumnya berasal dari Persia dan India. Kedua negara ini dikenal memiliki hubungan yang khas dengan komunitas Muslim pertama di Indonesia.
Adapun murid-murid yang mengajarkan tarekat setelah berguru di mekkah mereka adalah:
a.    Fansuri, adalah syaikh tarekat Qadiriyah
b.    Al-Raniri adalah syaikh tarekat Riffaiyah
c.    Abdul Al-Rouf Sinkel adalah syaikh tarekat Syattariyah
d.   Al-Palimbani adalah syaikh tarekat Sammaniyah. Bahkan yang disebut terakhir mengarang buku khusus yang menjelaskan kaidah dan syarat-syarat untuk menjadi pengikut Sammaniyah. Mereka merupakan syaikh yang memperkenalkan tarekat-tarekat tersebut di Indonesia.[10]
Di antara tarekat-tarekat yang umumnya memperoleh simpati dan banyak pendukungnya di Indonesia adalah tarekat Khalwatiyah, Syatariyah, Qadiriyah, dan ‘Alawiyah. Khalwatiyah kebanyakan pengikutnya berasal dari Sulawesi Selatan, tarekat Syatariyah kebanyakan muridnya dari Sumatera Selatan, kemudian tarekat Qadiriyah banyak tersebar di berbagai wilayah Indonesia, sementara itu tarekat ‘Alawiyah tersebar di Indonesia melalui keturunan ‘Alawiyyin dan murid-muridnya.
Di samping itu, terdapat pula tarekat Naqsabandiyah yang merupakan tarekat terbesar di Indonesia, Syadziliyah, Rifa’iyah, Idrisiyah, Sanusiyah, Tijaniyah, dan Aidrusiyah.
Petunjuk tentang penyebaran dan diterimanya tarekat-tarekat ini oleh masyarakat  Indonesia adalah bahwa kebanyakan ulama yang kembali dari Hijaz menganut tarekat tersebut dan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu, bentuk tarekat di Indonesia, seperti halnya di negeri muslim, tidak lain merupakan kesinambungan dari tasawuf suni Al-Ghazali.

D.  Hikmah Macam-Macam Thoriqoh
Macam-macam Thoriqoh bukan berarti menunjukkan adanya perbedaan di dalam hakikat dan tujuannya. Perbedaan tersebut hanyalah berada dalam wasilah (perantara), aturan, dan metodenya saja. Macam-macam Thoriqoh Shufiyyah yang sesuai dengan syai’at adalah semuanya merupakan jalan wushul kepada Allah, karena hajat kebutuhan seorang salik sanagt beragam, sehingga seorang salik akan mendapatkan jalan yang sesuai dengan kampuan, kekuatan, waktu, watak dan lingkungannya. Hal ini menepis alasan orang-orang yang enggan untuk berjalan menuju kepada Allah, sebab tidak setiap manusia sama dalam kemampuan dan tabi’atnya.
            Jumlah Thoriqoh yang beragam dan kokoh itu berjalan dengan selaras dan terfokus dalam satu arah, seakan-akan semuanya satu thoriqoh. Oleh karena itu, dalam kebanyakan ayat-ayat Al Qur’an menyebutkan dengan bentuk mufrod seperti sabili atau sabiluhu atau sabili robbika, sebab ujung dan pangkal atau permulaan  dan puncaknya itu satu, yaitu terkumpul dalam cakupan jalan Allah yang tegak, lurus, satu dan yang diikuti. Lebih jelasnya, bahwa semua jalan yang sesuai dengan syari’at itu dimulai dari taubat dan berpuncak pada ma’rifah, sehingga ketika kita gambarkan adalah satu lingkaran yang mempunyai markas, dan semua thoriqoh adalah garis-garis yang masuk dalam lingkaran tersebut, maka garis-garis lengkaran tersebut akan bertemu. Dan dimanapun titik permulaan itu ada, maka tidak ada perbedaan dalam puncak dan semua prinsipnya yang bersifat universal. Perbedaan itu hanya dalam cabang-cabang dan tata cara wushul.[11]


BAB III
KESIMPULAN
Thoriqoh adalah jalan menuju haqiqoh dengan bersandar pada guru mursyid sebagai pembimbingnya.
Kemunculan gerakan thoriqoh bermula pada abad ke-3 yang diawali dengan gerakan yang bernama thoriqoh sufi, disebabkan oleh kemosrotan moral para umat Islam. Seiring berkembangnya waktu, thoriqoh yang asalnya bersifat pribadi kemudian menjadi sebuah organisasi yang memiliki anggota masing-masing sesuai ajaran yang diajarkan.















DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Asrori Al Ishaqi, Terjemah Al Muntakhobat, Vol.4, (Surabaya: Al Wafa, 2012)

Asmin Yudian Wahyudi, Aliran Teologi dan Filsafat Islam,  (Jakarta: Bumi Aksara, t.t)



Harun Nasution, Filsafat dan mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)

Majlis PBA, Islamilogi dan konsep dasar sufisme, (Mataram : Alam Tara Institut, 2011)

Tafsir, Ahmad, Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf, IAIIM, 1990

Shihab, Alwi,  Akar Tasawuf di Indonesia,  (Depok: Pustaka IMAN,2009)



[1] Harun Nasution, Filsafat dan mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 64
[2] http://penyebarislam.blogspot.co.id/2012/11/pengertian-tarekat-dan-sejarah.html
[3] Asmin Yudian Wahyudi, Aliran Teologi dan Filsafat Islam,  (Jakarta: Bumi Aksara, t.t), 122
[4] Tafsir, Ahmad, Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf, IAIIM, 1990, 48
[5] Majlis PBA, Islamilogi dan konsep dasar sufisme, (Mataram : Alam Tara Institut, 2011), 72-73
[6] Ibid, 77
[7] Ibid, 78-79
[8] http://amrenrakatesa.blogspot.co.id/2012/05/sejarah-perkembangan-tarekat.html
[9] Ahmad Asrori Al Ishaqi, Terjemah Al Muntakhobat, Vol.4, (Surabaya: Al Wafa, 2012), 33
[10] Shihab, Alwi,  Akar Tasawuf di Indonesia,  (Depok: Pustaka IMAN,2009), 186
[11] Ahmad Asrori Al Ishaqi, Terjemah Al Muntakhobat, Vol.4, (Surabaya: Al Wafa, 2012), 37-38

Komentar

Postingan populer dari blog ini

terjemah qowaid tasawuf

QOIDAH KEEMPAT SHIDQUT TAWAJJUH (KESUNGGUHAN DALAM MENGHADAP ALLAH) ITU DISYARATKAN DENGAN DI-RIDHO-I ALLAH AL HAQ.......DAN TIDAK ADA TASAWUF KECUALI DENGAN ADANYA FIQIH. Syarat Shidqut tawajjuh adalah jika diridhoi-Nya dan dengan hal-hal yang menjadikan ridho-Nya. Dan segala sesuatu yang bersyarat tidak sah tanpa wujudnya syarat.    ( وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الكُفْر ) ayat ini mengharuskan seseorang untuk mewujudkan iman. ( وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ ) ayat ini mengharuskan seseorang untuk mengamalkan ajaran Agama Islam.   Tidak ada tasawuf kecuali dengan fiqih, karena hukum-hukum Allah yang dhohir tidak akan diketahui kecuali lewat fiqih. Dan tidak ada fiqih kecuali   bertasawuf, karena tidak ada perbuatan kecuali dengan shidqut tawajjuh . Dan tidak ada keduanya tanpa adanya iman, karena keduanya tidak akan sah tanpa adanya iman. Maka semua hal tersebut merupakan keharusan karena semuanya saling melekat laksana melekatnya ruh dan jasad. ...

tafsir ayat ahkam Al maidah ayat 6

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Sumber hukum pertama dalam Agama Islam adalah Al Qur’an. Dalam Al qur’an itu sendiri telah membahas berbagai macam aqidah, hukum-hukum, dan cerita, dan lain sebagainya. Beberapa dari surat ataupun ayat dalam Al Qur’an terkadang mengandung hukum-hukum tertentu. Misalnya, dalam surat Al Maidah ayat 6 membahas mengenai hukum-hukum thoharoh seperti berwudhu’, mandi, dan juga tayammum. Meskipun demikian, terkadang para Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum-hukum tersebut. Hal ini disebabkan salah satunya karena lafadz yang digunakan terlalu umum, sehingga menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda. Disamping Allah SWT, menjelaskan mengenai hukum-hukum lewat ayat-ayat Al Qur’an, sadar atau tidak disadari Allah memberikan hikmah-hikmah yang tersirat dalam ayat tersebut. Hikmah itu bisa diketahui dengan mendalami penafsiran para Ulama’ mengenai ayat ahkam. B.   Rumusan Masalah 1.       Apa dan bagaimana hu...