Langsung ke konten utama

pro kontra dalam menerima sunnah



PRO DAN KONTRA DALAM MENERIMA SUNNAH
Sebelum membahas bagaimana para sahabat atau ulama’ membantah terhadap golongan atau aliran Ingkar As Sunnah, terlebih kita harus mengenal dulu apa itu Ingkar As Sunnah dan bagaimana proses munculnya aliran tersebut.?
Pertama, Ingkar As Sunnah adalah sebuah sikap atau perilaku penolakan terhadap hadits Nabi Muhammad SAW dan tidak mengakui bahwa hadits adalah sumber hukum Agama Islam kedua. Sedangkan pelakunya disebut Mungkir As Sunnah. Ada tiga jenis Ingkar As Sunnah yaitu orang-orang yang menolak hadits secara keseluruhan, orang yang menolak hadits-hadits yang tidak terdapat dalam Al Qur’an baik tersurat atau tersirat, dan orang yang menolak sebagian hadits yaitu hadits ahad dan menerima hadits mutawatir.
Dalam perkembangannya, Ingkarus Sunnah itu terbagi mnejadi dua masa, yaitu Klasik dan Modern. Pada zaman Klasik, Ingkar As Sunnah sebenarnya sudah lahir ketika masa sahabat. Kemudian berkembang pada abad kedua dan akhirnya lenyap pada abad ketiga H. Akan tetapi yang perlu dipahami, pada masa tersebut nama Ingkar As Sunnah itu masih cenderung pada perorangan yaitu orang yang kurang memahami kedudukan hadits tersebut. Pernah diceritakan pada saat sahabat Nabi SAW, Imron bin Husain sedang megajarkan hadits, ada salah satu orang yang meminta agar ia tidak perlu mengajarkan hadits, tetapi cukup dengan Al Qur’an saja. Kemudian Imron mengatakan “tahukah anda, seandainya anda dan teman-teman anda hanya menggunakan Al Qur’an, apakah anda dapat mengetahui bahwa dhuhur itu 4 roka’at, ashar 4 roka’at, dan maghrib 3 roka’at, dan juga apakah anda dapat mengetahui bahwa thawaf dan sa’i antara Shafa dan Marwa itu tujuh kali?” mendengar jawaban itu orang tersebut mengatakan “anda telah menyadarkan saya,” dan akhirnya seelum wafat orang itu menjadi ahli fiqih.[1] Seiring berjalannya waktu, gejala Ingkar As Sunnah semakin bergejolak. Tetapi perlu diketahui bahwa gejala tersebut hanya ada di daerah-daerah tertentu, khususnya di Bashrah,Irak.
Pada Abad Kedua, mulailah muncul golongan-golongan yang menurut sebagian ulama’ bisa dikatakan Ingkarus Sunnah. Akan tetapi hal tersebut masih diperdebatkan. Diantaranya adalah khawarij, syi’ah, dan mu’tazilah. Menurut sebagian ‘ulama masing-masing dari mereka ada yang mengatakan Ingkarus Sunnah secara total, tapi menurut sebagian lain mereka hanya menolak sunnah sebagian saja. Secara perlahan, aliran ingkarus sunnah mulai melenyap berkat perdebatan yang sengit yang dilakukan oleh para ulama’ khusunya Imam Syafi’i. Beliau dikenal dengan Nashir Sunnah (pembela sunnah). Mereka datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan Asy-Syafi’i secara panjang lebar dengan berbagai argumentasi yang mereka ajukan. Namun, semua argumentasi yang dikemukakan oleh orang tersebut dapat ditangkis oleh Asy-Syafi’i dengan jawaban yang argumentatif ,ilmiah, dan rasional, sehingga akhirnya mereka mengakui dan menerima sunnah Nabi.
Pada abad keempat belas Hijriyah, yakni masa modern aliran tersebut lahir kembali dengan kostum yang berbeda yaitu berbentuk sebuah aliran atau komunitas. Aliran itu secara khusus lahir di Kairo, Mesir. Hal tersebut dikarenakan pengaruh kolonialisme barat. Menurut Muhammad Mustofa Azami menuturkan bahwa penggerak pertama ingkarus sunnah pada masa modern ini adalah Syeikh Muhammad Abduh. Beliau menolak hadits ahad untuk dijadikan dalil dalam masalah aqidah. Mengenai hal ini masih diperdebatkan apakah orang yang menolak hadits ahad disebut dengan ingkar sunnah?
Argumentasi ingkar sunnah dan perlawanan ulama’ terhadap mereka.
Setiap aliran atau komunitas pasti mempunyai alasan atau dalil. Begitu juga Ingkar As Sunnah. Argumentasi yang mereka gunakan dalam Ingkar As Sunnah sangat kuat juga rasional. Tak sedikit argumen mereka berupa ayat-ayat Al Qu’an. Berikut argumentasi mereka:
1.      Agama bersifat pasti.
Argumen pertama mereka berpendapat bahwa agama itu harus berlandaskan pada sesuatu yang pasti, yaitu Al Qur’an. Sebagaimana ayat ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ yang artinya “kitab Al Qur’an ini tidak ada keraguan padanya;petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
Sementara jika agama berlandaskan pada hadits, maka tidak terdapat kepastian. Sebab keberadaan hadits khususnya ahad itu bersifat dhanni dan itu dikecam oleh Allah, berdasrkan ayat :
 وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًاyang artinya “sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.
Untuk membantah orang-orang yang menolak hadits ahad, Abu Husain Al Bashri Al Mu’tazili mengatakan “dalam menerima hadits-hadits ahad sebenarnya kita memakai dalil-dalil pasti yang mengharuskan untuk menerima hadits itu, jadi sebenarnya kita tidak memakai dhann yang bertentangan dengan haq, tetapi kita menggunakan dalil dhann yang memang diperintahkan oleh Allah.”[2]
Sedangkan Imam Syafi’i dalam melawan mereka, beliau menggunakan cara berdiskusi dan melontarkan pertanyaan. Beliau pernah ditanyai para Ingkar As Sunnah, “apakah ada dalil yang bersifat dhann yang yang dapat menghalalkan suatu masalah yang sudah diharamkan dengan dalil yang bersifat qoth’i (pasti)?” beliau menjawab “ya, ada”. Mereka bertanya lagi “Apakah itu?”. Kemudian beliau melontarkan pertanyaan, “bagaimana pendapatmu terhadap orang membawa harta yang ada di sebelah saya ini, apakah orang itu haram dibunuh dan hartanya haram dirampas.?” Mereka menjawab, “ya demikian, haram dibunuh dan hartanya haram dirampas”. Imam Syafi’i bertanya lagi, “apabila ternyata ada dua orang saksi yang mengatakan bahwa orang tersebut baru saja membunuh orang lain dan merampok hartanya, bagaimana pendapatmu?”. Mereka menjawab “ia mesti di qishos dan hartanya harus dikembalikan pada ahli waris orang yang terbunuh.” Beliau bertanya lagi, “apakah tidak mungkin dua orang saksi tersebut berbohong atau keliru?” mereka menjawab “ya, mungkin” kemudian beliau mengatakan, “kalau begitu, kamu telah membolehkan membunuh (meng qhishos) dan merampas harta dengan dalil dhanni padahal dua masalah itu sudah diharamkan dengan dalil pasti”. Mereka berkomentar “ya, karena kita diperintahkan untuk menerima kesaksian”.[3] Begitulah peran Imam Syafi’i dalam membantah dan melawan ingkarus sunnah.
2.      Al Qur’an tidak butuh penjelasan.
Argumen kedua mengatakan bahwa Al Qur’an tidak membutuhkan penjelasan, justru Al Qur’an adalah penjelasan terhadap selainnya. Hal ini berdasarkan pada ayat berikut:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”
Para pembela sunnah menolak argumen tersebut. Mereka mengatakan bahwa para ingkar sunnah kurang mendalami Al Qur’an. Hal tersebut dibuktikan mereka hanya melihat ayat tersebut tanpa melihat ayat lainnya, seperti ayat :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
Secara logika, jika Al Qur’an itu diturunkan pada Nabi Muhammad agar beliau menjelaskan isi kandungannya, dapatkah dibenarkan seorang muslim menolak penjelasan ayat tersebut dari Nabi Muhammad kemudian memakai Al Qur’an dengan pemahamannya sendiri.? Hal itu menunjukkan kepercayaan terhadap sebagian ayat dan ingkar terhadap ayat lainnya. Dan tindakan tersebut dilarang oleh Allah.
Demikianlah seklumit argumen dari sekian banyak argumen yang dilontarkan oleh para Ingkarus Sunnah, baik secara naqli ataupun non naqli. Kalau diperhatikan secara mendalam, sebenarnya argument-argument mereka itu tidak pas atau akurat melainkan dikarenakan kajian yang kurang mendalam dan akhirnya menimbulkan kekeliruan dan kesalah pahaman. Tapi, setiap argumen mereka pasti ada penolakan atau perlawanan dari para pembela sunnah-khususnya Imam Syafi’i-dan tentunya bantahan tersebut juga menggunakan dalil-dalil yang rasional. Berdasarkan beberapa bantahan Ulama terhadap kelompok inkar al-Sunnah, dapat disimpulkan bahwa pendapat Ulama yang mengakui keberadaan hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam adalah lebih kuat dan lebih rasional.
ALLAH KNOWS BEST....!!!


[1] M.Agus Solahuddin, Agus Suyadi,Ulumul Hadits(Bandung:Pustaka Setia,2008), 208
[2] M.Agus Solahuddin, Agus Suyadi,Ulumul Hadits(Bandung:Pustaka Setia,2008), 222
[3] Ibid, 223

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah sejarah thoriqoh

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Tarekat merupakan bagian dari ilmu tasawuf. Namun tak semua orang yang mempelajari tasawuf terlebih lagi belum mengenal tasawuf akan faham sepenuhnya tentang tarekat. Banyak orang yang memandang tarekat secara sekilas akan menganggapnya sebagai ajaran yang diadakan di luar Islam (bid’ah), padahal tarekat itu sendiri merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan syari’at Islam yang sah. Namun perlu kehati-hatian   juga karena tidak sedikit tarekat-tarekat yang dikembangkan dan dicampuradukkan dengan ajaran-ajaran yang menyeleweng dari ajaran Islam yang benar. Oleh sebab itu, perlu diketahui bahwa ada pengklasifikasian antara tarekat muktabarah (yang dianggap sah) dan ghairu muktabarah (yang tidak dianggap sah).             Memang seluk-beluk tarekat tidak bisa dijabarkan dengan mudah karena setiap tarekat-tarekat terseb...

terjemah qowaid tasawuf

QOIDAH KEEMPAT SHIDQUT TAWAJJUH (KESUNGGUHAN DALAM MENGHADAP ALLAH) ITU DISYARATKAN DENGAN DI-RIDHO-I ALLAH AL HAQ.......DAN TIDAK ADA TASAWUF KECUALI DENGAN ADANYA FIQIH. Syarat Shidqut tawajjuh adalah jika diridhoi-Nya dan dengan hal-hal yang menjadikan ridho-Nya. Dan segala sesuatu yang bersyarat tidak sah tanpa wujudnya syarat.    ( وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الكُفْر ) ayat ini mengharuskan seseorang untuk mewujudkan iman. ( وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ ) ayat ini mengharuskan seseorang untuk mengamalkan ajaran Agama Islam.   Tidak ada tasawuf kecuali dengan fiqih, karena hukum-hukum Allah yang dhohir tidak akan diketahui kecuali lewat fiqih. Dan tidak ada fiqih kecuali   bertasawuf, karena tidak ada perbuatan kecuali dengan shidqut tawajjuh . Dan tidak ada keduanya tanpa adanya iman, karena keduanya tidak akan sah tanpa adanya iman. Maka semua hal tersebut merupakan keharusan karena semuanya saling melekat laksana melekatnya ruh dan jasad. ...

tafsir ayat ahkam Al maidah ayat 6

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Sumber hukum pertama dalam Agama Islam adalah Al Qur’an. Dalam Al qur’an itu sendiri telah membahas berbagai macam aqidah, hukum-hukum, dan cerita, dan lain sebagainya. Beberapa dari surat ataupun ayat dalam Al Qur’an terkadang mengandung hukum-hukum tertentu. Misalnya, dalam surat Al Maidah ayat 6 membahas mengenai hukum-hukum thoharoh seperti berwudhu’, mandi, dan juga tayammum. Meskipun demikian, terkadang para Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum-hukum tersebut. Hal ini disebabkan salah satunya karena lafadz yang digunakan terlalu umum, sehingga menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda. Disamping Allah SWT, menjelaskan mengenai hukum-hukum lewat ayat-ayat Al Qur’an, sadar atau tidak disadari Allah memberikan hikmah-hikmah yang tersirat dalam ayat tersebut. Hikmah itu bisa diketahui dengan mendalami penafsiran para Ulama’ mengenai ayat ahkam. B.   Rumusan Masalah 1.       Apa dan bagaimana hu...