BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an,
kalam Allah yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan umat
Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Hal tersebut dapat diperoleh
dengan mendalami ilmu-ilmu yang tercakup dalam ulum Al-Qur’an, yang salah
satunya adalah ilmu yang membahas tentang muhkam dan mutasyabih.
Dalam pemabahasan tentang muhkam dan mutasyabih, banyak
perselisihan diantara para ulama’ mengenai hal tersebut. Ada yang mengatakan
bahwa Al-Qur’an tidak ada yang namanya muhkam dan ada yang mengatakan
sebaliknya. Untuk lebih jelasnya pemakalah akan coba menjelaskan hal-hal yang
berkaitan dengan muhkam dan mutasyabih.
B. Rumusan Masalah
- Apa pengertian dari muhkam dan mutasyabih?
- Bagaimana pendapat ulama’ mengenai muhkam dan mutasyabih?
- Apa saja macam dan hikmah dari muhkam dan mutasyabih?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MUHKAM WA AL MUTASYABIH
Muhkam dan mutasyabih adalah dua lafadz
yang memiliki banyak ma’na atau arti, baik secara etimologi ataupun
terminologi. Menurut ulama’ ahli lughot, mereka menggunakan lafadz محكم atau
إحكام
pada makna yang banyak. Tetapi, secara umum dikembalikan pada satu makna yaitu المنع seperti perkataan أحكم الأمر أي أتقنه ومنعه عن الفساد . Sedangkan pada lafadz متشابه
mereka menggunakan lafadz itu bagi sesuatu yang persekutuan, persamaan, dan kesamaran.[1]
Adapun makna khusus dari keduanya
terdapat perbedaan pendapat, diantaranya adalah :
1. Muhkam
adalah sesuatu yang diketahui makna maksudnya sedangkan mutasyabih adalah
sesuatu yang maknanya dimonopoli oleh allah yakni hanya allah yng mengetahui.
2. Muhkam
adalah sesuatu yang hanya mencakup satu wajah atau makna, sedangkan mutasyabih
adalah sesuatu yang mencakup beberapa wajah.
3. Muhkam
adalah sesuatu yang telah jelas dengan sendirinya tanpa butuh penjelasan,
sedangkan mutasyabih adalah sesuatu yang tak bisa berdiri sendiri dan
membutuhkan penjelasan.
Ulama’
memberikan contoh pada muhkam dengan nasikhnya, halal dan haramnya,
kefardluannya, dan lain-lain. Sedangkan contoh mutasyabih seperti mansukhnya,
asma-asmanya, juga sifat-sifatnya.[2]
Imam Al Husain Ibn Muhammad Ibn Habib An
Naisaburi telah menceritakan bahwa pada pembahasan kali ini itu terdapat tiga
permasalahan pendapat. Yaitu :
1.
Pendapat pertama
mengatakan bahwa keseluruhan dari Al Qur’an itu berupa muhkam, berdasarkan ayat كِتَابٌ
أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ (Q.S.
Hud ayat:1).
2.
Pendapat kedua
mengatakan seluruh Al Qur’an adalah mutasyabih, berdasarkan ayat اللَّهُ
نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا
( Q.S. Az Zumar ayat:23)
3.
Pendapat
ketiga (pendapat shohih) mengatakan bahwa Al Quran itu sebagian berupa muhkam
dan sebagian berupa mutasyabih, berdasarkan pada ayat مِنْهُ
آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
(Q.S. Ali Imron ayat:7)[3]
B. Pendapat ulama’ mengenai muhkam dan mutasyabih
Terjadi perbedaan
pendapat, apakah mutasyabih itu dapat diketahui oleh manusia, ataukah tidak ada
yang mengetahui selain Allah.? Terdapat dua pendapat mengenai hal tersebut,
yaitu ada yang mengatakan dapat diketahui manusia dan ada yang mengatakan tidak
dapat. Yang menjadi sumber perselisihan tersebut adalah perbedaan pendapat
mengenai ayat 7 surat Al Imron, yaitu :
هُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ
الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي
الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ
Perselisihannya
adalah apakah lafadl وَالرَّاسِخُونَ itu menjadi ma’tuf dan lafadl يَقُولُونَ menjadi hal, atau وَالرَّاسِخُونَ
itu menjadi mubtada’ dan lafadl يَقُولُونَ menjadi khobar (wawunya isti’nafiyah) .?
a.
Diantara yang
mengikuti pendapat pertama adalah Mujahid, yang berdasarkan pada riwayat Ibnu
Abbas R.A mengenai firman allah وَمَا يَعْلَمُ
تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ beliau mengatakan انا ممن
يعلم تأويله. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Nawawi sebagaimana
perkataannya di kitab Syarah Muhadzab bahwa ini adalah pendapat yang lebih
shohih. Sebab, tidak mungkin Allah itu meng-khitob hamba Nya dengan sesuatu
yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.
b.
Sedangkan yang
memilih pendapat kedua adalah mayoritas dari sahabat, tabi’in, dan orang-orang
setelahnya terlebih ahlu sunnah. Yang menjadi landasan mereka adalah riwayat
Abdur Rozaq dalam tafsirnya dan Imam Hakim dalam Mustadroknya, dari Ibnu Abbas
bahwa beliau membaca وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا
اللَّهُ ويقول
َالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْم,
hal itu menunjukkan bahwa wawu tersebut adalah isti’nafiyah.[4]
C.
Sebab-sebab
adanya ayat mutasyabih
Telah kita ketahui sebelumnya
bahwasannya sumber adanya ayat
mutasyabih secara umum adalah karena adanya kesamaran maksud syari’ dari
kalamnya. Adapun secara khusus atau terperinci itu adakalanya karena kesamaran
dalam lafadznya, adakalanya kesamaran dalam ma’nanya, dan adakala karena
kesamaran dalam keduanya.[5]
a. Kesamaran
dalam lafadznya.
Dalam hal ini adakalanya berupa mufrod
dan juga murokkab. Kesamaran lafadz yang mufrod itu terkadang kesamaran itu
disebabkan karena lafadznya yang asing atau juga karena lafadznya yang
musytarok. Contoh kesamaran dikarenakan lafadznya yang asing adalah Lafadz َأَبّ dalam ayat وَفَاكِهَةً وَأَبًّا.
Sedangkan contoh kesamaran karena lafadznya yang musytarok adalah ladazاليمين yang terdapat dalam ayat فَرَاغَ عَلَيْهِمْ ضَرْبًا بِالْيَمِينِ . lafadz tersebut
mempunyai banyak ma’na yaitu bisa berarti tangan kanan, kekuasaan, dan sumpah.
Maksudnya Nabi Ibrohim memukul berhala tersebut dengan tangan kanannya, atau
memukul dengan keras atau kuatnya, atau juga memukul dikarenakan sumpah beliau
yang tertera dalam ayat 57 surat Al Anbiya’. Pada ayat tersebut, ketiga ma’na
itu cocok dan boleh.
Sedangkan
kesamaran lafadz yang murokkab terkadang dikarenakan lafadznya yang terlalu
singkat, atau terlalu luas, atau dari segi tertibnya. Contoh yang terlalu
singkat adalah firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ . pada ayat tersebut sulit dipahami karena terlalu
singkat, ya’ni “jika kalian takut tidak dapat berlaku adil pada anak yatim maka
nikahilah perempuan yang baik-baik 2/3/4.” Seandainya ayat tersebut lebih
diperjelas misalnya وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى لو تزوجتموهن
فانكحوا من غيرهن ما طاب لكم من النساء maka akan lebih mudah memahaminya ya’ni “jika
kalian takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim bila mana
kalian menikahinya, maka nikahilah perempuan selain mereka 2/3/4.” Contoh
lafadznya yang terlalu luas adalah لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ . Seandainya kaf tersebut dibuang maka akan lebih jelas ma’nanya bagi pendengar.
Contoh kesamaran yang disebabkan susunannya adalah الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا
(1) قَيِّمًا . kesamaran tersebut terletak pad lafadz قَيِّمًا dan lafadz sebelumnya. Seandainya susunannya dirubah menjadi أنزل على عبده الكتاب قيما ولم يجعل له عوجا
maka akan lebih mudah memahaminya.
b. Kesamaran
pada ma’nanya.
Kesamaran
suatu ayat terkadang disebabkan karena samarnya ma’na ayat tersebut. Contohnya
adalah semua sifat-sifatnya allah, perihal tentang kiamat, kenikmatan surga,
dan juga adzabnya neraka karena akal manusia tidak mungkin bisa menjangkau
hal-hal tersebut.
c. Kesamaran
pada keduanya.
Pada
kesamaran ini terdapat banyak sekali contoh. Salah satunya adalah وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ . Orang yang tidak mengetahui
adat-istiadat orang arab tidak akan bisa mengetahui maksud ayat tersebut. Pada
ayat ini terdapat kesamaran dalam ma’nanya yaitu terlalu singkat. Seandainya
diperluas sedikit misalnya وليس البر بأن تأتوا البيوت من ظهورها إذا كنتم محرمين بحج أو عمرة
maka akan lebih jelas. Juga terdapat kesamaran dalam ma’nanya karena tidak bisa
diketahui oleh oarang-orang yang tidak mengetahui adat mereka.[6]
D. Macam-macam mutasyabih
Ayat-ayat
mutasyabihat terbagi menjadi tiga:
a. Mutasyabih
yang tidak dapat diketahui oleh semua manusia seperti dzat-dzat Allah dan
sifat-sifat Nya, waktu hari kiamat dan hal-hal ghoib lain yang hanya diketahui
Allah.
b. Mutasyabih
yang dapat diketahui oleh semua manusia dengan cara membahas dan mendalami
seperti mutasyabih yang disebabkan karena ijmal, tartib, dan lain-lain.
c. Mutasyabih
yang dapat diketahui oleh ulama’-ulama’ dan pakar-pakar tertentu bukan oleh
semua orang. Dalam hal ini banyak
contoh-contohnya yang
berupa ma’na-ma’na luhur yang diketahui oleh ahli shifa’ dan para mujtahid
ketika menela’ah kitab Allah.[7]
E. Hikmah-hikmah adanya ayat muhkam mutasyabih
1. Hikmah
adanya ayat muhkamat
Dibalik
adanya ayat muhkmamat terdapat banyak faedah-faedah bagi umat manusia,
diantaranya:
a. Menjadi
rahmat bagi manusia, khususnya bagi orang-orang yang kemampuan bahasa Arabnya
lemah. Karena ayat itu sudah jelas sehingga tidak perlu membahas lebih dalam.
b. Memudahkan
manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan mereka dalam menghayati
makna maksudnya.
c. Membantu
para guru, muballigh, juga juru dakwah dalam usaha menerangkan isi ajaran kitab
Al-Qur’an kepada masyarakat.
d.
Mempercepat
usaha tahfidzul qur’an. Sebab, ayat yang sudah diketahui artinya akan
lebih mudah penghafalannya.
2.
Hikmah adanya
ayat mutasyabihat
Hikmah
adanya ayat-ayat mutasyabihat lebih banyak dibandingkan ayat muhkamat,
diantaranya adalah:
a. Rahmat
Allah bagi manusia yang hakikatnya lemah. Karena seandainya tidak disamarkan,
bisa jadi merupakan siksaan bagi mereka, terutama mereka yang tidak tahan
mendzohirkannya. Begitu juga Allah merahasiakan datangnya kiamat merupakan
rahmat Allah, supaya mereka tidak malas-malasan dan mempersiapkan diri mereka.
b. Ujian
dan cobaan terhadap kekuatan iman manusia. Apakah dengan disamarkan mereka akan
tetap iman atau sebaliknya.?
c. Membuktikan
kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha manusia untuk
mengetahuinya, masih ada kekurangan dan kelemahannya.
d. Mendorong
manusia untuk giat belajar dan tekun menalar mengenai ayat yang masih samar
ma’nanya.
e. Menambah
pahala usaha manusia. Karena semakin banyak usaha mereka untuk memahami ayat
itu maka semakin besar pula pahalanya.[8]
BAB
III
KESIMPULAN
Muhkam dan
mutasyabih adalah dua lafadz yang memiliki banyak ma’na atau arti, baik secara
etimologi ataupun terminologi seperti keterangan yang diatas. Begitu juga
pendapat ulama’ terhadap muhkam dan mutasyabih tidak lepas dari perbedaan
pendapat, baik mengenai apakah manusia dapat mengetahui ayat mutasyabih atau
tidak juga mengenai apakah Al-Qur’an itu mutasyabih, muhkam, atau keduanya.
Mengenai
sebab-sebab adanya mutasyabih itu terbagi menjadi tiga, yaitu kesamaran dalam
lafadznya saja, maknanya saja, dan kesamaran dalam keduanya seperti keterangan
diatas. Adapun macam-macam ayat mutasyabih terdapat tiga bagian, yaitu
mutasyabih yang tidak dapat diketahui oleh seluruh ummat manusia yakni hanya
Allah yang mengetahui, mutasyabih yang dapat diketahui ummat manusia dangan
cara mendalaminya, dan mutasyabih yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang
tertentu seperti ulama’ dan para pakar ilmu.
Sedangkan hikmah
dibalik adanya ayat muhkamat da mutasyabihat itu banyak sekali sebagaimana
keterangan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Djalal, Ulumul Qur’an(Surabaya:Dunia Ilmu, 2012)
Abdur
Rahman Ibn Abu Bakar Jalaluddin As Suyuthi, Al Itqon Fi Ulum Al Quran
(Beirut:Dar Al Kutub Al Ilmiyah,2012)
Muhammad
Abdul Adzim Az Zarqoni, Manahilu Al Irfan (Beirut : Dar Al Fikr, 1996)
Manna’
Al Qotton, Mabahits Fi Ulum Al Qur’an ( Riyadl
: Mansyurot Al Ashr Al Hadits, 1990)
Muhammad
Ibn Bahadir Al Zarkasyi, Al Burhan Fi Ulum Al Qur’an (Beirut : Dar Al Kutub Al
Ilmiyah,2007)
[2]
Manna’ Al Qotton, Mabahits Fi Ulum Al Qur’an ( Riyadl : Mansyurot
Al Ashr Al Hadits, 1990), 216
[3]
Muhammad Ibn Bahadir Al Zarkasyi, Al Burhan Fi Ulum Al Qur’an (Beirut : Dar Al
Kutub Al Ilmiyah,2007) jld,2 hal 43
[4]
Abdur Rahman Ibn Abu Bakar Jalaluddin As Suyuthi, Al Itqon Fi Ulum Al Quran
(Beirut:Dar Al Kutub Al Ilmiyah,2012), 311.
[6]
Muhammad Abdul Adzim Az Zarqoni, Manahilu Al Irfan (Beirut : Dar Al Fikr, 1996) jld,2 hlm
200-201.
[7]
Ibid, 202
[8]
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an(Surabaya:Dunia Ilmu, 2012), 262-266
Komentar
Posting Komentar