Langsung ke konten utama

tafsir ayat ahkam Al maidah ayat 6



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sumber hukum pertama dalam Agama Islam adalah Al Qur’an. Dalam Al qur’an itu sendiri telah membahas berbagai macam aqidah, hukum-hukum, dan cerita, dan lain sebagainya. Beberapa dari surat ataupun ayat dalam Al Qur’an terkadang mengandung hukum-hukum tertentu. Misalnya, dalam surat Al Maidah ayat 6 membahas mengenai hukum-hukum thoharoh seperti berwudhu’, mandi, dan juga tayammum. Meskipun demikian, terkadang para Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum-hukum tersebut. Hal ini disebabkan salah satunya karena lafadz yang digunakan terlalu umum, sehingga menghasilkan penafsiran yang berbeda-beda.
Disamping Allah SWT, menjelaskan mengenai hukum-hukum lewat ayat-ayat Al Qur’an, sadar atau tidak disadari Allah memberikan hikmah-hikmah yang tersirat dalam ayat tersebut. Hikmah itu bisa diketahui dengan mendalami penafsiran para Ulama’ mengenai ayat ahkam.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa dan bagaimana hukum syari’at yang terkandung dalam surat Al Ma’idah ayat 6?
2.      Apa hikmah disyariatkannya hal tersebut?





BAB II
PEMBAHASAN
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ  تَشْكُرُون (المائدة : 6)

A.  Mufrodat
1.    { إِذَا قُمْتُمْ } Imam Az Zujaj berkata : yang dimaksud dengan lafadz tersebut adalah ketika kamu ingin melakukan sholat, sebagaimana ucapan lain dalam firman Allah { فَإِذَا قَرَأْتَ القرآن فاستعذ بالله } [ النحل : 98 ]. Dalam pernyataan tersebut, yang dimaksud bukanlah suatu pekerjaan berdiri, melainkan keinginan atau kehendak pekerjaan. Walhasil, lafadz tersebut mempunyai pemahaman bahwa ketika kamu hendak melakukan sholat maka basuhlah wajahmu........(dan seterusnya).
2.    { فاغسلوا } lafadz الغَسْل dengan dibaca fathah ghoinnya memiliki arti mengalirkan air terhadap suatu tempat untuk menghilangkan sesuatu yang berupa kotoran atau yang lainnya.
3.    { وُجُوهَكُمْ } lafadz الوجه diambil dari kata  المواجهة. Batasan untuk wajah dalam segi panjangnya adalah mulai dari dahi yang paling atas sampai  dagu yang paling bawah, dan lebarnya mulai dari cuping telinga kanan sampai cuping telinga kiri.[1] Menurut Imam Syafi’i batasan wajah adalah mulai dari pangkal tumbuhnya rambut sampai kedua telinga, kedua tulang dagu, dan dagu.[2]
4.    { إِلَى الكعبين }lafadz الكعبان berarti dua tulang yang menonjol pada dua sisi kaki. Dinamakan كعباً karena keberadaannya yang tinggi. Atau menurut pendapat lain dikatakan كعبا karena paling menonjol dari pada anggota dibawahnya dan diatasnya.
5.    { أَوْ لَامَسْتُمْ النِّسَاءَ } dalam qiro’at lain dibaca dengan tanpa alif, dan keduanya bermakna اللَّمْس yaitu menyentuh atau meraba dengan tangan sebagaimana pendapat Ibnu Umar dan diikuti oleh Imam Syafi’i juga dihubungkan dengan menyentuh dengan kulit yang lain. Menurut Ibnu Abbas, lafadz tersebut berarti  الْجِمَاع(jima’).[3]
6.    { مِّنْ حَرَجٍ } yakni mempersempit dalam urusan agama, maka Allah benar-benar memberi keluasan pada para mu’min yaitu ketika Allah memberi ke-rukhshoh-an dalam bertayammum.[4]

B.  Asbabun Nuzul
Imam Bukhori meriwayatkan hadist dari Aisyah, beliau berkata: “Kalungku pernah hilang di Baida, yang pada waktu itu kami sudah masuk ke Kota Madinah, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberhentikan untanya dan turun. Lalu beliau menyandarkan kepalanya dipangkuan sambil tiduran. Abu Bakr datang kepadaku seraya marah mencelaku, dia berkata; 'Kamu telah menahan orang-orang dari melanjutkan perjalanan kerena mencari kalung.' Aku diam seperti orang mati, karena takut mengganggu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, padahal Abu Bakr telah menyakitiku. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bangun dari tidurnya dan tibalah waktu shalat shubuh, maka beliau mencari air, namun beliau tidak mendapatkannya. Lalu turunlah ayat: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat…. (Al Maidah: 6). Maka Usaid bin Hudlair berkata; 'Sungguh Allah telah memberkahi orang-orang,karena kalian wahai keluarga Abu Bakar. Tidaklah kalian berada kecuali telah memberikan keberkahan kepada mereka.[5]

C.  Arti Secara Global
Allah SWT, menjelaskan tentang hukum-hukum wudhu, dan tayammum. Allah SWT. berfirman :”Ketika kalian ingin menjalankan sholat, sedangkan kalian dalam keadaan berhadast, maka basuhlah wajah kalian, tangan kalian sampai kedua siku, dan usaplah bagian kepala, lalu basuhlah kedua kaki sampai mata kaki, dan apabila kalian dalam keadaan hadast besar maka mandilah dengan air. Dan jika kalian dalam keadaan sakit, berpergian, atau hadast kecil, atau menyetubuhi wanita dan tidak menemukan air untuk berwudhu’ atau mandi, maka tayammumlah kalian dengan debu yang suci, maka usaplah wajah kalian dan kedua tangan kalian sampai siku dengan debu. Allah s.w.t tidak menginginkan suatu kesulitan bagi kalian dalam urusan agama, tetapi Allah s.w.t ingin membersihkan kalian dari dosa-dosa, dan dari kotoran-kotoran dan najis, dan menyempurnakan ni’matnya terhadap kalian dengan penjelasan syari’at Islam supaya kalian bersyukur dan memuji terhadap ni’matnya.[6]

D.  Hukum Syari’at
1.    Apakah wudhu’ itu diwajibkan bagi orang yang tidak berhadats ketika ingin mengerjakan sholat ? jika dilihat dari tekstual ayat tersebut dapat dipahami bahwa wudhu diwajibkan bagi setiap orang yang hendak melakukan sholat meskipun dia tidak berhadats. Akan tetapi, para Ulama’ sepakat bahwa wudhu’ itu tidak diwajibkan kecuali bagi orang yang memang dalam keadaan berhadats. Maka jika dipahami lagi ayat tersebut memiliki maksud yang tersimpan yaitu “jika kalian hendak melakukan sholat sedangkan kalian dalam keadaan berhadats”. Salah satu bukti bahwa wudhu itu tidak wajib kecuali dalam keadaan berhadats adalah bahwasannya Nabi Muhammad SAW, ketika fathul Makkah pernah melakukan sholat dengan sekali wudhu’, lantas kemudian Umar Ibn Khottob berkata : “wahai Rosulullah, engkau mengerjakan sesuatu yang belum pernah engkau kerjakan ?”. Rosulullah menjawab :“ aku memang sengaja melakukannya, wahai Umar”. Yang dimaksud adalah Rosulullah ingin menjelaskan kebolehan pada ummatnya mengenai perbuatan tersebut. Mengenai hadits-hadits yang berlaku bahwa Rosulullah selalu berwudhu’ setiap hendak melakukan sholat, merupakan perbuatan yang lebih baik atau disunnahkan bukan sesuatu yang diwajibkan.[7]
2.    Kefardhuan pertama dalam wudhu’ adalah membasuh wajah yaitu mulai dari atas tempat tumbuhnya rambut sampai bawahnya dagu dalam panjangnya, dan sampai kedua telinga dalam lebarnya. Orang yang memiliki jenggot tipis diwajibkan membasuh bagian luar jenggotnya serta kulit yang ada dibawahnya. Sedangkan orang yang memiliki jenggot tebal wajib merenggangkannya atau menyela-nyelainya. Dan tidak diwajibkan menyampaikan air pada mata. Adapun mengenai berkumur dan menghisap air pada hidung telah masyhur menjadi kesunnahan wudhu’.[8]
3.    Apa hukum mengusap kepala dan berapakah ukurannya? Ulama’ fiqih sepakat mengenai kefardhuan wudhu’ tentang mengusap kepala. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang ukuran mengusapnya.
a.       Imam Maliki dan Imam Hambali berpendapat bahwa diwajibkan mengusap seluruh kepala karena untuk berhati-hati.
b.      Imam Hanafi berpendapat bahwa diwajibkan mengusap seperempat bagian kepala, karena mengikuti fi’lu An-Nabi yakni mengusap rambut bagian depan kepala.
c.       Imam Syafi’i berpendapat bahwa dicukupkan mengusap sebagian kecil sesuatu yang dapat dikatakan mengusap meskipun hanya beberapa rambut karena dengan landasan yakin.
Dalil Imam Maliki dan Imam Hambali berpendapat bahwa diwajibkan mengusap seluruh bagian kepala karena mereka menganggap ba’nya lafadz tersebut merupakan ba’ zaidah yang mana diartikan dan usapkan kepala kalian. Mereka berpendapat bahwa ayat wudhu’ memiliki keserupaan dengan ayat tayammum. Dalam tayammum Allah memerintahkan mengusap seluruh kepala. Oleh karena itu, jika dalam tayammum diperintahkan mengusap secara keseluruhan maka seharusnya dalam wudhu’ pun harus demikian, diwajibkan mengusap seluruh kepala dan tidak dicukupkan hanya dengan sebagiannya saja. Hal ini dikuatkan dengan perbuatan Nabi yang mana beliau ketika berwudhu’ mengusap seluruh bagian kepala.[9]
Dalil Imam Hanafi dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa ba’ pada lafadz tersebut berfaedahللتبعيض  (sebagian) bukan ba’zaidah yang bermakna “dan basuhlah sebagian dari kepalamu”. Bedanya, menurut Imam Hanafi ukuran sebagian adalah seperempat kepala sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Mughiroh Ibn Syu’bah bahwa Nabi Muhammad SAW, ketika dalam perjalanan beliau turun untuk membuang hajat dan kemudian datang berwudhu’ dan mengusap bagian depan kepala. Menurut golongan Imam Syafi’i mereka berpendapat bahwa ba’ tersebut berfaedah tab’idh, dan paling sedikitnya perkara yang dapat dikatan mengusap yaitu menurut keyakinan, dan perkara selain dari keyakinan itu maka bukan merupakan kefardhuan, tetapi hanya sebatas kesunnahan. Imam Syafi’i berpendapat mengenai firman  Allah s.w.t : (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ) bahwasanya lafadz tersebut memiliki dua pemahaman yaitu sebagian kepala atau seluruh bagian kepala. Hadist menjelaskan memebasuh sebagian kepala pun sudah cukup, yaitu ketika nabi mengusap bagian depam kepalanya, dan pendapat Imam syafi’i dalam keterangan yang lain: “jika aku ditanya bahwa Allah s.w.t telah berfirman : فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ dalam tayammum, apakah dalam konteks ini dicukupkan untuk mngusap sebagian wajah saja? Aku menjawab: mengusap wajah dalam tayammum merupakan suatu pengganti dari membasuh, maka diwajibkan mengusap  semua bagian yang seharusnya dibasuh, sedangkan mengusap kepala itu merupakan hukum asal, inilah perbedaan titik aslnya.”[10]
4.    Apa itu janabah dan apa yang diharamkan dalam janabah? الجنب merupakan lafadz yang  dapat diberlakukan untuk mufrod, tatsniyah, dan jama’, sedangkan الجنابة: adalah ma’na secara syar’i yang diwajibkan untuk menjauhi sholat, membaca Al-Qur’an, menyentuh Mushaf, sampai dia telah melakukan mandi junub. Sebab-sebab janabah itu ada dua hal :
a.       Keluarnya mani. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim : «إنما الماء من الماء» yang memiliki arti diwajibkan menggunakan air untuk mandi dikarenakan keluarnya air sebab mimpi atau jima’ yaitu air mani.
b.      Bertemunya dua alat khitan atau jima’. Sebagaimana sabda Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Aisyah dan Ibnu Umar : «إذا التقى الختانان وجب الغسل» yang berarti “ketika dua alat khitan itu bertemu maka diwajibkan untuk mandi.”
Diwajibkan mandi juga ketika berhentinya darah haidl dan nifas bagi perempuan, sebagaimana firman Allah SWT, dalam pembahasan haidl :
[  وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ، فَإِذا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ [البقرة 2/ 222]
yang artinya “janganlah kalian dekati mereka (perempuan haidl) sampai mereka bersuci, jika mereka telah bersuci maka datangilah mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT.” Dan menurut ijma’ berpendapat bahwa hukumnya nifas juga sama seperti haidl.[11]            
Diperbolehkannya tayammum itu karena dua keadaan, yaitu ketika bepergian dan kekurangan air dan juga ketika dalam keadaan sakit baik hadhir ataupun safar. Ayat tersebut menunjukkan bahwa bagi musafir diharuskan berusaha mencari air dahulu sebagaimana bunyi ayat tersebut (فَلَمْ تَجِدُواa مَاءً فَتَيَمَّمُوا), karena setiap orang yang keluar dari suatu daerah ke daerah lain telah dikatakan musafir, baik perjalanan dekat ataupun jauh.  Imam Syafi’i mengatakan bahwa beliau tidak mengetahui dalil dalam sunnah bagi sebagian orang musafir yang boleh tayammum dan sebagian lagi tidak boleh tayammum, karena memandang dhahirnya ayat tersebut bahwa setiap orang musafir, baik dekat maupun jauh, diperbolehkan tayammum. Sedangkan bagi orang yang sakit diperbolehkan tayammum, baik hadir atau musafir, menemukan air ataupun tidak. Akan tetapi, istilah sakit yang diperbolehkan tayammum itu ada beberapa syarat.[12] Dalam hal ini istilah sakit di-qoyyid­-i dengan sakit-sakit yang membahayakan jika terkena air. Oleh karena itu, para Fuqoha’ membagi istilah sakit dalam beberapa macam :
a.       Sakit yang akan mendatangkan kerusakan tubuh dan bahaya ketika menggunakan air, dengan landasan kuatnya perasangka atau berita dari dokter muslim yang mahir. Dalam hal ini diperbolehkan tayammum secara mutlak.
b.      Sakit yang akan menambah sakit atau memperlambat penyembuhan ketika menggunakan air. Dalam hal ini diperbolehkan tayamum menurut madzhab Maliki dan Hanafi dan merupakan quol ashohnya Syafi’i.
c.       Sakit yang tidak dikhawatirkan merusak tubuh, memperlambat penyembuhan, atau menambah rasa sakit ketika menggunakan air. Dalam hal ini tidak diperbolehkan bertayammum menurut Madzhab Hanafi dan Syafi’i, karena masih dikatakan mampu menggunakan air. Sedangkan menurut Madzhab Maliki diperbolehkan tayammum karena memandang umumya lafadz tersebut.
d.      Sakitnya hanya di anggota badan tertentu. Jika anggota yang sehat lebih banyak daripada yang sakit, maka wajib membasuh bagian yang sehat dan mengusap bagian yang sakit serta tidak diwajibkan tayammum. Jika anggota yang sakit lebih banyak, maka boleh tayammum menurut Madzhab Hanafi, tapi menurut Madzhab Syafi’i wajib membasuh anggota yang sehat kemudian bertayammum secara mutlak. Sedangkan menurut Madzhab Maliki diperbolehkan bertayammum secara mutlak. [13]
5.    Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar dari sahabat Rasulullha, dam az-Zuhri dari tabi’in, menyatakan batalnya wudhu karena bersentuh kuli laki-laki dan perempuan. Begitu pula pendapat Imam Syafi’i. Tetapi ada riwayat bahwa Ali dan Ibnu Abbas dari sahabat, dan Thawus daan Atha” dari tabi’in, berpendapat tidak batal kalau hanya bersentuh kulit saja. Inilah madzhab Imam Hanafi dan madzhab Ahlul Bait. Dan sebagiannya mengatakan bahwa batalnya wudhu’ apabila bersentuhan dengan syahwat. Golongan ini menyatakan bahwa menyentuh kulit laki-laki yang manis (amrad) pun bisa membatalkan wudhu’ apabila dengan syahwat. Sebab, memang ada juga orang laki-laki yang timbul syahwatnya melihat anak laki-laki manis yang belum tumbuh kumisnya. Pangkal dari perbedaan pendapat ialah tentang pengertian اللمَس, sebagian ulama’ menggunakan arti yang asli, yaitu sentuh; sebab itu jadi batal wudhu’. Dan sebagian yang lain mengatakan dengan arti majaz, yaitu bersertubuh.[14]
6.    Apakah dalam bertayammum diwajibkan mengusapkan debu pada tangan sampai siku-siku? Telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan lafadz صعيد adalah debu yang suci menurut pendapat yang dipilih, sedangkan tayammum secara syara’ itu menggunakan debu tersebut dalam dua anggota khusus dengan tujuan untuk bersuci. Menurut Madzhab Hanafiah dua anggota tersebut adalah wajah dan kedua tangan sampai siku dan pendapat ini merupakan qoul rojih Imam Syafi’i. Menurut Imam Maliki dan Hambali batasan mengusapnya sampai pergelangan tangan. Alasan  Imam Syafi’i dan Hanafi adalah dalam ayat tersebut itu memang memiliki pemahaman atas perintah untuk mengusap anggota (wajah dan tangan) secara keseluruhan. Tetapi, tayammum adalah pengganti wudhu’ dan yang namanya pengganti tidak akan berbeda dengan yang digantikannya kecuali memang ada landasannya. Dalam hal wudhu’ telah diwajibkan membasuh tangan sampai pada siku-siku, begitu juga dalam tayammum diwajibkan mengusap pada tangan sampai siku-siku. Mereka berpendapat demikian karena berlandasan Hadits Jabir Ibn Abdullah  التيمم ضربتان ضربة للوجه ، وضربة للذراعين إلى المرفقين. Sedangkan alasan dari Imam Malik dan Imam Hambali adalah bahwa lafadz اليد itu diarahkan pada arti telapak tangan dengan dalil pada Al Qur’an { والسارق والسارقة فاقطعوا أَيْدِيَهُمَا } [ المائدة : 38 ] sesuai ayat tersebut bahwa pemotongan tangan itu sampai pergelangan tangan. Oleh karena itu, dicukupkan dalam tayammum mengusap debu sampai pergelangan tangan.[15]
E.   Hikmah Pensyari’atan
Disyariatkannya wudhu’ dan mandi bagi orang mu’min dalam Islam adalah untuk menunjukkan kesucian dalam hal dhohir, sebagaimana Allah mengajak untuk menjahui perkara maksiat dan do’a untuk kesucian batin. Wudhu’ dan mandi yang bertujuan agar menjadi bersih (secara dhohir) juga merupakan upaya agar menjadi pribadi yang membiasakan pola hidup bersih dan suci, baik dalam raga, jiwa (akhlaq), ataupun agama. Agama Islam mengajarkan demikian karena Islam adalah Agama yang bersih dan suci, sedangkan kesucian dhohir merupakan bagian dari kesucian bathin.
Allah telah menjelaskan hikmah disyariatkannya hukum tersebut dalam ayat terakhirnya yaitu :
 { مَا يُرِيدُ الله لِيَجْعَلَ عَلَيْكُم مِّنْ حَرَجٍ ولكن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ }. Thoharah atau bersuci adalah pondasi dalam kehidupan seorang muslim. Jika Allah SWT, tidak menerima sholatnya orang-orang kecuali dengan dhohir yang suci, lantas bagaimana Allah menerima orang-orang yang suka mengotori dirinya dengan kotoran-kotoran ma’nawi yang kemudian akan dikumpulkan di sisiNya pada hari kiamat ? Bahwa Islam adalah agama yang suci. Kesucian dhohir adalah cabang, sedangkan kesucian bathin adalah asal. Kesucian dhohir merupakan syarat sah sholat, begitu juga kesucian bathin merupakan syarat untuk bisa masuk surga, sebagaimana ayat berikut :
{ يَوْمَ لاَ يَنفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ * إِلاَّ مَنْ أَتَى الله بِقَلْبٍ سَلِيمٍ } [ الشعراء : 88-89 ]
Keduanya merupakan sebab untuk mendapatkan kecintaan Allah SWT, sebagaimana ayat ; { إِنَّ الله يُحِبُّ التوابين وَيُحِبُّ المتطهرين } [ البقرة : 222 ] .[16]












BAB III
KESIMPULAN

1.    Dalam surat Al Maidah ayat 6, didalamnya mengandung hukum-hukum mengenai tata cara berwudhu’, hukum tentang mandi, dan juga tayammum. Mengenai hukum tentang ketiga macam cara bersuci tersebut (wudhu’, mandi, dan tayammum) telah pemakalah bahas dalam bab ke-2.
2.    Dalam pembahasan tentang surat Al Maidah ayat 6 diatas, tentunya Allah memberikan hikmah tersendiri bagi kita umat manusia baik, sadar ataupun tidak disadari. Antara lain misalnya mengajak kita untuk membiasakan pola hidup bersih dan suci, tidak hanya secara dhohir saja bahkan secara batin juga agar bisa menghadap Allah SWT.



















DAFTAR PUSTAKA

Al Baihaqi, Abu Bakar. 1994. Ahkam Al Qur’an li Syafi’i. Cet. Ke-2. Kairo: Maktabah Al Khoniji

Al Mahalli, Jalaluddin Muhammad dan Jalaluddin As Suyuthi. 2011. Tafsir Jalalain. Cet. Ke-1. Jakarta: Dar Kutub Al Islamiah

Al-Shabuni, Muhammad Ali. 2001. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cet. Ke-1. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiah

Az Zahili, Wahbah Ibn Mustofa. 1418 H. Tafsir Al Munir. Cet. Ke-2. Damaskus: Dar al Fikr Al Maashir

Hamka. t.t. Tafsir Al Azhar. Jilid. Ke-3. Singapura: Pustaka Nasional Ptc Ltc



[1] Al-Shabuni, Muhammad Ali. 2001. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cet. Ke-1. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiah, 422.
[2] Al Baihaqi, Abu Bakar. 1994. Ahkam Al Qur’an li Syafi’i. Cet. Ke-2. Kairo: Maktabah Al Khoniji, 43
[3] Al Mahalli, Jalaluddin Muhammad dan Jalaluddin As Suyuthi. 2011. Tafsir Jalalain. Cet. Ke-1. Jakarta: Dar Kutub Al Islamiah, 142
[4] Al-Shabuni, Muhammad Ali. 2001. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cet. Ke-1. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiah, 422
[5] Az Zahili, Wahbah Ibn Mustofa. 1418 H. Tafsir Al Munir. Cet. Ke-2. Damaskus: Dar al Fikr Al Maashir, 100-101
[6] Al-Shabuni, Muhammad Ali. 2001. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cet. Ke-1. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiah, 422.
[7] Al-Shabuni, Muhammad Ali. 2001. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cet. Ke-1. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiah, 426
[8] Az Zahili, Wahbah Ibn Mustofa. 1418 H. Tafsir Al Munir. Cet. Ke-2. Damaskus: Dar al Fikr Al Maashir, 103
[9] Ibid, 426-427                                                                                                                                    
[10]Ibid, 427
[11] Az Zahili, Wahbah Ibn Mustofa. 1418 H. Tafsir Al Munir. Cet. Ke-2. Damaskus: Dar al Fikr Al Maashir, 108
[12] Al Baihaqi, Abu Bakar. 1994. Ayat al Ahkam li Syafi’i. Cet ke-2. Kairo: Maktabah al Khonaji, 48
[13] Al-Shabuni, Muhammad Ali. 2001. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cet. Ke-1. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiah, 428
[14] Hamka. t.t. Tafsir Al Azhar. Jilid. Ke-3. Singapura: Pustaka Nasional Ptc Ltc, 1635-1636
[15] Al-Shabuni, Muhammad Ali. 2001. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cet. Ke-1. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiah, 429-430
[16] Al-Shabuni, Muhammad Ali. 2001. Tafsir Ayat al-Ahkam. Cet. Ke-1. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiah, 431

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah sejarah thoriqoh

BAB I PENDAHULUAN A.            Latar Belakang Tarekat merupakan bagian dari ilmu tasawuf. Namun tak semua orang yang mempelajari tasawuf terlebih lagi belum mengenal tasawuf akan faham sepenuhnya tentang tarekat. Banyak orang yang memandang tarekat secara sekilas akan menganggapnya sebagai ajaran yang diadakan di luar Islam (bid’ah), padahal tarekat itu sendiri merupakan pelaksanaan dari peraturan-peraturan syari’at Islam yang sah. Namun perlu kehati-hatian   juga karena tidak sedikit tarekat-tarekat yang dikembangkan dan dicampuradukkan dengan ajaran-ajaran yang menyeleweng dari ajaran Islam yang benar. Oleh sebab itu, perlu diketahui bahwa ada pengklasifikasian antara tarekat muktabarah (yang dianggap sah) dan ghairu muktabarah (yang tidak dianggap sah).             Memang seluk-beluk tarekat tidak bisa dijabarkan dengan mudah karena setiap tarekat-tarekat terseb...

terjemah qowaid tasawuf

QOIDAH KEEMPAT SHIDQUT TAWAJJUH (KESUNGGUHAN DALAM MENGHADAP ALLAH) ITU DISYARATKAN DENGAN DI-RIDHO-I ALLAH AL HAQ.......DAN TIDAK ADA TASAWUF KECUALI DENGAN ADANYA FIQIH. Syarat Shidqut tawajjuh adalah jika diridhoi-Nya dan dengan hal-hal yang menjadikan ridho-Nya. Dan segala sesuatu yang bersyarat tidak sah tanpa wujudnya syarat.    ( وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الكُفْر ) ayat ini mengharuskan seseorang untuk mewujudkan iman. ( وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ ) ayat ini mengharuskan seseorang untuk mengamalkan ajaran Agama Islam.   Tidak ada tasawuf kecuali dengan fiqih, karena hukum-hukum Allah yang dhohir tidak akan diketahui kecuali lewat fiqih. Dan tidak ada fiqih kecuali   bertasawuf, karena tidak ada perbuatan kecuali dengan shidqut tawajjuh . Dan tidak ada keduanya tanpa adanya iman, karena keduanya tidak akan sah tanpa adanya iman. Maka semua hal tersebut merupakan keharusan karena semuanya saling melekat laksana melekatnya ruh dan jasad. ...